Kejadian beberapa tahun lalu, rasanya masih berada di depan mata. Waktu yang telah berlalu terasa begitu singkat. Saat itu saya merasakan kegalauan hebat ketika anak gadisku telah memasuki usia baligh, dan akan menamatkan pendidikannya di sekolah menengah pertama.
Sebagai seorang ibu saya galau dengan lingkungan tempat tinggal. Pergaulan sebagian anak remaja begitu bebas. Pacaran menjadi hal yang biasa biasa saja, bahkan sering terjadi tindakan perzinaan hingga hamil di luar nikah.
Naudzubillahi mindzalik. Saya mendidik anak perempuan yang boleh dikata begitu keras. Pengawasan dalam hal pergaulannya merupakan hal prinsip. Untuk itu saya harus menjemputnya jika mengerjakan tugas ke rumah temannya atau saat ikut kegiatan ekstra. Sebab, ia harus tetap berada di rumah di malam hari. Sampai salah satu gurunya pernah menyampaikan, anak saya tidak akan berkembang kalau saya memiliki aturan super ketat.
Agar pergaulannya tetap terjaga, usai SMU saya pilihkan dia salah satu pondok pesantren. Tahfidzul Quran yang berada di Balikpapan. Sebenarnya harapan ke pesantren sudah saya sampaikan menjelang tamat SD. Tapi ia menolak. Kini tawaran itu kembali saya sampaikan. Dia sepakat, tetapi cukup di wilayah Makassar.
Saya memberikan pilihan, jika ingin tetap sekolah, maka harus lanjut ke pesantren di Balikpapan – di mana batasan antara laki-laki dan perempuan–jelas terjaga.
Meskipun awalnya sedikit ragu, akan tetapi kemudian ia setuju. Dengan niat karena Allah Subhanahu Wata’ala, saya pun mengantarkan putri saya ke pondok pesantren di Balikpapan.
Sebelum meninggalkannya di Balikpapan, saya meminta padanya untuk tetap semangat belajar dan menghafalkan al-Qur’an, saling mendoakan, dan ia harus menjadi contoh kebaikan bagi adik adiknya. Namun setelah beberapa waktu di pondok dan saat menghadapi liburan, anak saya mengalami kebimbangan. Kali ini ia memiliki keinginan kuat melanjutkan belajar ke pondok Wadi Mubarok di Bogor. Sayapun setuju, namun untuk masuk ke pondok itu ternyata terkendala ketentuan yang tidak bisa terpenuhi.
Dalam kondisi seperti itu, anak saya nampak sedikit stres. Sebagai orang tua saya senantiasa mendoakan dan tetap menyemangati semoga ada jalan terbaik untuknya jika bersungguh sungguh di jalan ilmu. Akhirnya ia pun kembali bersemangat dan mengutarakan kalau nantinya sangat berharap bisa belajar ke Madinah. Saya dan suami lantas meyakinkannya untuk tetap menjaga niat baiknya, sambil berdoa agar kami dimudahkan dalam rezeki agar bisa menyekolahkannya, bahkan hingga S2 sekalipun jika Allah mengizinkan.
Suatu ketika saya pernah menanyakan pendapatnya, apakah ada rasa sakit hati dengan cara didikan saya padanya. la menjawab, kalau dulu la sangat sakit hati diperlakukan seperti itu, tetapi sekarang malah bersyukur karena mama telah menjaganya sehingga bisa tetap dalam kebaikan.
Memasuki tahun kedua di pesantren Balikpapan, saat semester genap, ia terpilih sebagai salah satu peserta yang akan mengikuti pembelajaran Tahfidz al-Qur’an Usia Dini Metode at-Tibyan selama tiga bulan di Pondok Wadi Mubarok- Bogor. Setelah melalui evaluasi, Alhamdulillah ia meraih peringkat ketiga.
Namun, memasuki tahun ketiga di pesantren, ternyata jodohpun bersambut. Sebagai orang tua yang memiliki pemahaman bahwa agama menjadi tolak ukur dalam memilih jodoh, dan kami tahu bahwa orang orang yang hidup dalam lingkungan pesantren adalah orang-orang baik, kami sebagai orang tua akhirnya memilih untuk menikahkannya.
la pun sepakat untuk mengikuti pernikahan di pesantren pada tahun 2016. Siapapun Jodoh yang dipilihkan oleh Allah, maka itulah yang terbaik, meskipun beberapa keluarga menentang keputusan kami, sebab prosesi pernikahan yang sangat jauh berbeda dengan tradisi kehidupan saat ini. Namun, saya dan suami saling menguatkan bahwa ini adalah jalan terbaik yang kita pilih untuk anak kami.
Melalui ikhtiar untuk memantapkan keyakinan bahwa jodoh tidak akan pernah tertukar, serta diiringi istikharah, ternyata Allah menjodohkan putri kami dengan seorang pemuda yang sedang menempuh pendidikan di kota Madinah. Alhamdulillah lima bulan pernikahan anak kami, atas izin Allah ia pun berangkat bersama suaminya sebagai thalabul ‘ilm ke Kota Nabi, yaitu Madinatul Munawwaroh, Masya Allah, saya sebagai ibu hanya bisa menangis bahagia ketika mengantarkannya sampai Bandara Jakarta. Sungguh Allah mengabulkan impian putri kami untuk belajar tempat sebaik-baik tempat belajar, yaitu tempat belajar para shahabiyyah.
Menyekolahkan ke Pesantren merupakan salah satu cara mendidik anak agar terjauh dengan pergaulan bebas. Muhammadiyah Boarding School Piyungan menjadi salah satu pilihan yang tepat bagi orangtua, untuk menyekolahkan anaknya di Pesantren ini. Karena di Pesantren ini juga sangat melindungi anak dari pergaulan bebas.
Sumber: Majalah Mulia/ Ummu Rifky/ April 2017