Perusakan
Kebanyakan kaum ibu gelisah resah menyaksikan anaknya melakukan perusakan terhadap sesuatu barang yang dipegang. Padahal perusakan tersebut bukan suatu perkara yang aneh dan tidak merugikan. Perusakan dilakukan sebagai bukti pertumbuhan gerak dan kelincahan anak, serta keinginan untuk memperlihatkan kebolehannya yang merupakan naluri bagi seorang anak.
Manakala seorang anak tidak memiliki sifat suka merusak sesuatu yang berada ditangan, maka akan mati kreatifitas dan tidak mampu menunjukkan kebolehan dalam memikat masyarakat sekitar apabila nanti ia telah dewasa. Dan perkembangan ilmu pengetahuan dalam jiwanya pun akan lamban.
Suatu bentuk kesalahan apabila orang tua menyingkirkan sesuatu yang sedang dicintai anak, yang dengan benda itu ia ingin menunjukkan kebolehan dalam bergerak serta mengetahui hakiki benda tersebut. Pada dasarnya anak melakukan perusakan terhadap sesuatu dan mempermainkannya adalah merupakan upaya mengenal pengaruh lingkungan. Dari sini akan tumbuh pengertian untuk mengadakan penelitian dan pengamatan terhadap benda, serta mengadakan pembahasan. Disamping itu merupakan dasar fundamental bagi perkembangan cakrawala, kreatifitas dan pola pikir anak.
Kebanyakan orang tua mengartikan perusakan yang tumbuh dalam naluri anak sebagai suatu bentuk kenakalan. Ketika seorang anak sedang lincah dan merasa bangga melakukan perusakan segera distop, sehingga ia tidak bebas lagi bergerak dan beratraksi. Segera ibunya mengganti dengan barang-barang yang tidak mudah rusak apabila dipermainkan.
Anak kecil dalam kenyataannya tidak mampu memperhitungkan harga barang yang dirusak sebagaimana anak yang sudah dewasa. Manakala orang tua sadar yang demikian, maka tidak akan mengecewakan anaknya yang sedang lincah mengamati suatu benda yang dipegang, merusak dan menyusunnya kembali. Kewajiban orang tua bahkan memberi kebebasan kepada anak untuk berbuat dan menyediakan benda-benda yang dicintai sebagai upaya pengembangan kreatifitas dan cakrawala pandang pada masa depan. Tidak perlu membentak, memukul dan menghentikan kegiatan anak ketika mengadakan perusakan terhadap sesuatu.
Kaum ibu harus memberikan kebebasan kepada anaknya melakukan perusakan terhadap suatu benda apabila hal itu berlatar belakang perasaan ingin menunjukkan kebolehan dalam bergerak. Ingin mengetahui hakiki benda tersebut. Merusak dan menyusun kembali, serta menunjukkan kepercayaan diri. Tetapi kalau berlatar belakang kecemburuan atau emosi, maka harus maka harus segera dicegah. Karena itu seorang ibu harus mengenal latar belakang perbuatan anak dalam melakukan perusakan.
Kadangkala perusakan yang dilakukan seorang anak berlatar belakang adanya faktor-faktor emosi yang terpendam. Seperti perasaan minder atau benci terhadap pengekangan. Berarti tindakan ini merupakan gejala timbul nya rasa ingin balas dendam atau ingin memmengetahui apa yang ada di dalamnya, dan buktikan keberadaan dirinya. Kadang-kadang pula ada seorang anak yang mengatakan: “Aku ingin sekali membongkar jam ini untuk untuk mengetahui bagaimana jarum-jarumnya berjalan”.
Biasanya seorang ibu menyaksikan perusakan yang dilakukan anaknya langsung marah-marah, mencak-mencak dan merasa kecewa. Ini suatu sikap yang keliru. Seharusnya ia memahami dan menyambut dorongan keinginan anaknya. Membantu upaya anaknya untuk membongkar jam dan jam dan mengetahui apa yang ada di dalamnya. la seharusnya merasa bahagia dengan adanya kecenderungan ilmiah yang tumbuh dalam usia yang masih dini pada diri anaknya, yang memiliki sifat ingin tahu. Dalam waktu yang sama, seorang ibu harus mempunyai jalan keluar secara pasti untuk menghalangi kecenderungan merusak pada diri anaknya. Misalnya dengan mengatakan kepadanya: “Sesungguhnya ibu tahu sejauh mana keinginanmu untuk mengetahui apa yang terdapat di dalam jam ini. Hanya agar jam ini tetap berjalan seperti biasa, harus dalam keadaan tertutup seperti sekarang. Mari sekarang ibu bantu untuk mencari gambar angka dan alat-alat yang terdapat di dalam jam, agar kamu mengetahui apa saja yang ada di dalamnya. Juga agar kamu mengetahui bagaimana cara kerja jam ini, serta lebih mudah memasangnya kembali”.
Seorang ibu yang menghadapi anaknya dengan penuh emosi karena berani merusak atau memecah jam, dapatlah digambarkan dari akibat yang ditumbulkan. Sikap ini justru akan memacu anak untuk senantiasa melakukan hal tersebut. la senantiasa mencari kesempatan ketika ibunya pergi, atau berusaha menjauh dari pengawasannya. Pada saat itulah ia melakukan aksi perusakan. Sebaliknya, manakala seorang ibu memberikan jawab dengan tenang dan lemah lembut dalam menghadapi anaknya, maka ia akan menerima semua nasehat yang diberikan.
Banyak dijumpai, seorang ibu yang memergoki anaknya sedang menggambar dan mencoret-coret tembok kamarnya, reaksi yang pertama kali dilakukan adalah marah-marah. Ini terlihat dari mimik mukanya yang angker, hingga membuat anak ketakutan. Lebih-lebih lagi apabila ia melayangkan tamparan kepadanya. Padahal seharusnya dalam menghadapi anaknya ia berlaku bijaksana.Alangkah lebih baik manakala ia mengatakan kepada anaknya : “Sayang, jangan melukis di tembok. Sebab membuat pandangan kurang sedap. Ambillah buku gambar, dan gambarlah apa saja sepuasmu. Kalau hasilnya baik, nanti kita gantung di tembok. Bukankah itu lebih baik?”.
Kemudian ibu mencoba untuk segera membersihkan tembok, tentu anak itu akan bereaksi ikut membersihkannya. Ia pasti bersikap positip melihat sikap ibunya tersebut. Bahkan boleh jadi ia mengungkapkan reaksinya dengan kata-kata lirih dan lembut: “Mama, aku cinta kepadamu!”.
Bohong
Mengapa seorang anak melakukan kebohongan.
Kadang-kadang ia melakukan kebohongan karena tidak diperkenankan mengatakan sesuatu dengan sejujurnya. Misalnya, ada seorang anak mengatakan : “Aku tidak mencintai adikku yang kecil ini”. Barangkali ia akan mendapat tamparan dari ibunya, sebagai imbalan dari ucapannya itu. Padahal ia mengucapkannya dengan penuh kejujuran. Maka secara terpaksa dan setelah menengok ke sana ke mari ia mengatakan: “Aku mencintai adikku yang kecil ini”.
Ketika ia bersedia melakukan kedustaan, barangkali mendapat hadiah manisan maupun permen atas sikapnya itu. Ini berarti seorang ibu telah merasa senang dan bangga atas sikap anaknya yang melakukan kedustaan.
Yang menjadi permasalahan, konklusi apakah yang didapat oleh seorang anak dari kedua peristiwa dan dari pengalamannya itu.
la pasti mengambil suatu kesimpulan, bahwa berkata sejujurnya berarti membahayakan dirinya. Sedang berdusta mendatangkan manfaat bagi dirinya. Dan barangkali ia mengambil kesimpulan, bahwa ibunya lebih menyukai kebohongan sekali pun dalam masalah terkecil.
Manakala seorang ibu berkeinginan mengajarkan sifat jujur kepada anak-anaknya, baik terhadap diri sendiri maupun kepada orang lain, maka konsekuensinya harus melatih diri sendiri untuk mendengarkan hal-hal yang pahit dari kejujuran. Sebab anak yang kita harapkan tumbuh dewasa dengan dinamis, jujur dan dapat dipercaya, seharusnya tidak diberi kesempatan maupun dorongan untuk berkata dusta. Atau kata-kata yang sama sekali tidak kita sukai, dan tidak disukai pula oleh dirinya sendiri. Perkataan jujur yang dilakukan di hadapan kita akan memberi pengaruh atas kesadarannya, bahwa segala kebaikan bersumber pada kejujuran. Anak yang dihukum sebagai akibat dari perkataannya yang jujur, akan mendorong dirinya melakukan kedustaan demi membela diri agar tidak mendapat hukuman dari orang tua.
Sifat amanah (jujur) dalam perkataan merupakan sifat yang harus diupayakan, tidak termasuk sifat fitrah (pembawaan). Sifat tersebut terbentuk dalam pribadi seseorang dengan jalan meniru. Manakala seorang anak tumbuh dewasa dalam lingkungan yang menjunjung tinggi dan menghormati kebenaran, berarti ia kelak akan tumbuh menjadi insan yang senantiasa memegang teguh kebenaran dan berkata jujur. Sebaliknya, bila ia tumbuh dewasa dalam suatu lingkungan yang suasananya penuh kepalsuan dan kedustaan, maka ia akan tumbuh menjadi manusia sesuai dengan kebiasaan yang biasa dilakukan orang tua.
Seorang ibu jangan sekali-kali memperlihatkan kepada anak, jika pada suatu waktu ia berupaya melepaskan diri dari beban yang ada dengan alasan sakit, padahal sebenarnya ia tidak sakit. Jangan menampakkan sikap keraguan terhadap suami atau meragukan kejujurannya di depan anak.
Seorang ibu harus cermat dan teliti memperhatikan kebohongan yang dilakukan anaknya, sekalipun dalam masalah yang terkecil.
Hindarilah mengatasi dan menyelesaikan masalah dengan memukul, berlaku keras, mengejek maupun menyebarluaskan kesalahannya. Cara ini hanya akan mengantar kepada timbulnya sakit hati dan kefatalan bagi anak. Maka yang harus dilakukan seorang ibu ialah mengatasinya dengan keadaan yang tenang dan memberikan motivasi kepada anak untuk melakukan sesuatu yang lebih baik. Dan kaum ibu hendaklah senantiasa menyadari, bahwa penyebab utama utama timbulnya penyakit dusta adalah dari rumah tangga itu sendiri.
Alangkah benar apa yang telah digariskan Rasulullah saw dalam sabdanya: “Sesungguhnya jujur dapat menunjukkan kepada kebajikan, dan kebajikan dapat menunjukkan ke arah syurga. Dan seseorang akan senantiasa melakukan ke jujuran, hingga ia ditulis di sisi Allah sebagai orang yang jujur. Dan sesungguhnya dusta menunjukkan kepada kedurhakaan, dan kedurhakaan dapat menunjukkan ke arah neraka. Dan seseorang akan senantiasa melakukan kedustaan, hingga ia ditulis di sisi Allah sebagai pendusta”.
Mencuri
Amanah merupakan sifat yang diupayakan, bukan sifat yang berdasarkan keturunan. Merupakan suatu hal yang sangat berbahaya manakala tidak ditanamkan sejak dini dan dibentuk pada jiwa anak sejak kecil. Sebab seorang anak apabila tidak dibiasakan dalam lingkungan keluarga untuk membedakan antara hal-hal yang khusus baginya dan apa-apa yang bukan miliknya, maka akan sangat sulit sekali baginya manakala ia keluar dari lingkungan rumah untuk membedakan mana miliknya dan mana yang bukan miliknya. Karena itu tugas terpenting bagi seorang ibu ialah menegakkan dan memprioritaskan penanaman akhlak karimah, yakni sifat amanah ke dalam jiwa anaknya. Ini dilakukan dengan cara mem- biasakan melalui pengalaman dan percobaan. Yakni membedakan antara miliknya dengan yang bukan miliknya.
Dalam upaya membina anak ke arah kebajikan hendaklah seorang ibu memberikan pengertian kepada anaknya, apabila ia mengambil sesuatu yang bukan miliknya maka dinamakan “mencuri”. Mencuri adalah suatu perbuatan yang sangat tercela, dan bagi pelakunya akan mendapat balasan yang keras sebagai akibat perbuatan tercela tersebut. Agar seorang anak memiliki sifat amanah (jujur), maka kita berkewajiban menghormati benda-benda yang menjadi miliknya dan hak-haknya. Untuk itu seorang ibu harus hati-hati terhadap harta benda yang menjadi milik anaknya. Jangan sekali-kali berlaku seenaknya, mengambil tanpa keridhaan maupun tanpa persetujuan darinya.
Seorang ibu jangan sekali-kali mengadakan pembelaan manakala anaknya dicap sebagai pencuri. Sebab sikap demikian hanya akan mendorong ia untuk lebih berani melakukan pencurian. Jangan pula memukul sebagai imbalan atas kekeliruan yang dilakukan. Bahkan seorang ibu seharusnya mengenal lebih banyak dorongan-dorongan yang menyebabkan anak melakukan hal yang berdosa tersebut daripada lebih mementingkan kejadian itu. Sebab pencurian yang dilakukan anak, kadangkala memang dilakukan secara sengaja. Namun boleh jadi pula sebagai akibat dari dorongan yang diluar kesadarannya.
Dalam segala situasi dan kondisi seorang ibu harus dapat menanggulangi masalah pencurian sejak dini dengan cara yang lembut, penuh kasih sayang dan bijaksana. Manakala memberikan hukuman, hendaknya yang sesuai dengan tingkat dan jenis perbuatan yang dilakukan. Misalnya, bila barang yang dicuri berasal dari toko, rumah orang lain atau dari salah seorang teman, maka ia disuruh mengembalikan sambil meminta maaf kepada pemiliknya. Manakala cara ini sulit ditempuh karena barang curian itu telah tiada, telah digunakan oleh anak, maka dikembalikan dalam bentuk nilai harga. Penggantian nilai harga ini diambil dari uang tabungan atau uang jajan anak. Tetapi pengembalian itu jangan sekali-kali memperberat uang jajannya. Sebab kalau memberatkan, pasti ia akan melakukan pencurian lagi.
Suatu hal yang membahayakan pula manakala seorang ibu memberitahukan kepada anaknya, bahwa ia tidak dapat dipercaya lagi. Hal ini akan membuat dirinya tertekan perasaan. Merasa rendah diri, tidak memiliki harga lagi, hingga tidak merasa malu dan segan melakukan perbuatan dosa yang lain karena terlanjur basah. Akibatnya, perbuatan mencuri maupun perbuatan tercela lainnya menjadi suatu kebiasaan baginya.
Seorang ibu harus mengetahui, bahwa yang melatarbelakangi melakukan pencurian bagi seorang anak adalah bermacam-macam. Boleh jadi karena dorongan rasa balas dendam dan karena dorongan keinginan untuk mengembalikan perasaan minder yang ada pada dirinya. Dan kadangkala pula karena ia merasa telah kehilangan kasih sayang.
Bagi kaum ibu seharusnya lebih dahulu mempelajari keadaan dan dorongan yang terdapat pada diri anaknya, hingga ia berani melakukan pencurian. Demikian pula seorang ibu harus meneliti keluwesan fisik, gerakan tubuh anak, kemampuan intelegensia dan ketajaman inderanya. Sebab hal ini akan sangat membantu dalam melenyapkan dorongan negatip yang mendominasi pada diri anak serta dalam mengarahkannya kepada hal-hal yang baik.
Sebagai penunjang dalam pembahasan ini kami Hamid Abdul-Khalik Hamid ketengahkan sebuah nasehat, bahwa pada dasarnya seorang anak tidak akan berani mencuri harta benda milik temannya. Bahkan ia merasa ‘andarbeni’, ikut memiliki. Karena itu merupakan keharusan bagi orang tua untuk senantiasa mewarnai hubungan dengan anak-anaknya dengan kasih sayang, penuh kedisiplinan tanpa disertai kekerasan dan cinta kasih yang tidak memanjakan.
Takut dan khawatir
Perasaan takut yang senantiasa menghantui anak kecil merupakan akibat dari kurangnya kasih sayang. la jangan sekali-kali diperlakukan dengan ancaman akan diisolasikan. Bagi orang tua, jangan sekali-kali mengeluarkan kata-kata ancaman tersebut ketika dalam keadaan risau dan emosi. Sering kita jumpai dalam kehidupan masyarakat seorang ibu yang berada di pasar atau di jalan mengatakan kepada anaknya: “Jika kamu tidak datang segera, kutinggal!”.
Ungkapan di atas hanya akan mempersubur rasa takut pada diri seorang anak. Dapat memberi pengaruh terhadap khayalannya, hingga tergambar dengan jelas bahwa ia akan ditinggalkan sendirian di atas dunia ini. Sebaiknya seorang ibu manakala mengajak anaknya pergi bersama dengan pendekatan yang halus dan bijak. Ini lebih menguntungkan bagi perkembangan jiwa anak daripada dengan ungkapan-ungkapan yang bersifat mengancam dan penuh kekerasan.
Rasa takut memang merupakan reaksi yang wajar pada setiap diri manusia. Namun kalau perasaan itu melampaui batas kewajaran, maka sangat berbahaya dan berpengaruh sangat negatip bagi masa depan anak. Perasaan takut ini tidak akan melampaui batas kewajaran sepanjang ibunya membantu menghilangkan melalui sikap terhadap anak. Seorang anak yang menyaksikan kekhawatiran ibunya ketika ia mulai belajar berjalan, maka akan menambah perasaan takut pada dirinya. Seharusnya seorang ibu memberikan kebebasan, jangan menunjukkan roman muka yang penuh kekhawatiran. Bahkan menunjukkan kebanggaan jatuhkan piring dari rak; hanya akan menamdan kebahagiaan anaknya mulai belajar berjalan. Demikian pula jeritan dan sikap cemas seorang ibu ketika melihat anaknya menbah perasaan takut pada jiwa anaknya. Manakala berkelanjutan, maka dalam pertumbuhannya ia akan menjadi manusia yang minder dan tak percaya diri.
Lama kelamaan perasaan takut tumbuh semakin subur dan semakin mengakar pada diri seorang anak, hingga ia merasa canggung melakukan sesuatu. Sebab ia merasa bahwa dirinya hidup diantara orang-orang yang penakut. la merasa takut terhadap segala sesuatu dan tumbuh menjadi seorang penakut, ragu dan kehilangan kepercayaan diri. Sudah barang tentu kondisi yang seperti ini akan mengakibatkan adanya kegoncangan yang mengendap dalam dirinya, hingga selamanya akan menjadi penghambat berpikir secara benar dan sehat.
Karena itu seorang ibu harus pandai-pandai menjauhkan anaknya dari segala bentuk penyebab yang mendatangkan perasaan takut dan tidak percaya diri. la hendaknya memendam perasaan kemudian menampakkan sikap teguh serta tersenyum di hadapan anak ketika ia ditimpa petaka. Demikian pula ketika anaknya melakukan kesalahan. Dari waktu ke waktu secara berangsur-angsur seorang ibu harus membiasakannya masuk ke kamar gelap, agar ia pada nantinya terbiasa dengan hal tersebut, hingga tidak merasa ngeri dan takut terhadap situasi gelap.
Suatu hal yang tidak mempunyai nilai arti ketika seorang ibu menakut-nakuti anaknya dengan hantu, polisi maupun dokter. Yakni seperti mengatakan kalau ia nakal, maka hantu, polisi atau dokter akan datang padanya. Sebab lama kelamaan secara berangsur anak akan mengetahui, bahwa ancaman yang dikeluarkan ibunya hanyalah isapan jempol belaka, tidak menjadi kenyataan. Hingga pada akhirnya anak tidak akan menghormati dan menerima nasehat serta arahan dari ibunya, hingga apapun yang disampaikan kepadanya dianggap enteng dan seolah-olah tidak ada. Pengaruh lain yang timbul pada diri anak ialah perasaan takut dan khawatir serta membenci polisi dan dokter ketika ia bertemu dengan mereka.
Tidak perlu menutup mata, realita membuktikan bahwa tidak sedikit seorang ibu menakut-nakuti anaknya dengan hal-hal seperti itu. Misalnya, seseorang mengatakan kepada anaknya: “Bila kamu tidak menghentikan perbuatan itu, maka akan datang polisi membawamu, atau ada hantu yang akan menculikmu, atau dokter akan menyuntikmu”.
Kata-kata dan ungkapan di atas akan menimbulkan dua kemungkinan.
- Kadangkala anak tidak mau meninggalkan perbuatannya, karena ancaman yang diberikan tidak mengenai sasaran. Akibatnya ia mengetahui kelemahan kedua orang tuanya yang tidak mampu membuktikan ancaman yang dikatakan itu. Dan ia menyadari kekuatan dirinya untuk menyanggah mereka.
- Kadangkala anak tunduk terhadap perintah orang tuanya dan menjadi pasif, aktifitasnya menjadi lumpuh sekali, hingga ia tumbuh besar menjadi seorang penakut dan tunduk patuh kepada perintah, sekalipun tidak ada penyebab yang masuk akal.
Banyak kita lihat dalam kehidupan keseharian, orang tua mengetahui anaknya takut terhadap salah satu jenis binatang, seperti anjing atau kucing. Tetapi malah ia gunakan untuk menakut-nakuti anaknya, sekalipun hanya sekedar iseng untuk menggodanya. Atau ia lakukan agar anaknya bersedia melakukan suatu pekerjaan dengan meninggalkan pekerjaan yang lain.
Menakut-nakuti anak dengan tujuan iseng dan bahan tertawaan dari orang-orang dewasa, ini sering terjadi. Rasa takut seorang anak terhadap cecak misalnya, dapat menimbulkan hal-hal yang lucu bagi orang-orang dewasa yang berada dalam lingkungan keluarga. Baik mereka saudara-saudaranya yang lebih besar, para pelayan, dan terkadang ayah atau ibunya sendiri ikut-ikutan iseng. Karena masalahnya hanya sekedar iseng dan bercanda, maka bukan hal yang aneh manakala ada sebagian orang dewasa tergerak hatinya untuk melakukan hal tersebut untuk memuaskan kesenangan mereka. Tetapi tanpa disadari mereka telah membuat derita dan tekanan bathin bagi si anak. Membuat ia ketakutan, hingga dalam pertumbuhan jiwanya akan terhambat.
Tidak ada suatu kejadian pun yang lebih kejam daripada seorang ayah yang duduk di hadapan anaknya, kemudian ia membuat anaknya ketakutan. Ia menjerit-jerit, sementara orang tuanya tertawa gembira dan senang melihat anaknya ketakutan. Barangkali kalau hal ini terjadi berulang-ulang, maka akan memberi pengaruh yang sangat negatip bagi anak. Ia tidak akan lagi mencintai orang tuanya, hingga hubungan antara anak dan orang tua menjadi retak. Secara hal tersebut mempunyai pengaruh yang negatip terhadap kepribadian dan sikap anak.
Diantara kesalahan yang dilakukan para ayah, yang hal ini telah populer, ialah ketika menimbulkan perasaan takut pada diri anak-anaknya dengan mengaitkan hal-hal yang dalam kenyataannya tidak menakutkan, tetapi bahkan banyak memberi manfaat. Seperti nama “dokter” yang dalam kenyataannya ia adalah manusia yang bertugas menyediakan pelayanan sosial dan kemanusiaan, yang sudah barang tentu akan memberi manfaat bagi siapa saja yang berhubungan dengannya. Akan teta pi sering nama “dokter” dijadikan sarana untuk menakut-nakuti anak. Demikian pula obat, polisi, guru dan sekolah, semuanya merupakan obyek yang berbeda yang seharusnya dikaitkan dengan hati anak dalam segi positip, faedah dan nilai yang sebenarnya. Tetapi kadang-kadang hal-hal tersebut dijadikan sebagai sarana menghukum maupun membangkitkan rasa takut pada diri seorang anak. Akibatnya pengertian hal-hal tersebut dalam hati anak menjadi terbalik. Akhirnya menjadi sumber perasaan takut bagi dirinya, hingga keinginan untuk memanfaatkannya sangat sedikit sekali. Kadang-kadang seorang anak dihukum dengan cara dipaksa untuk segera tidur, belajar, diberi obat, matanya ditetesi obat dan lain sebagainya yang sejenis. Seharusnya hal-hal itu disenangi anak, dan mereka dididik agar dengan sendirinya mau menerimanya berdasarkan kesadaran. Dan kita tidak boleh menjadikan hal- hal tersebut sebagai lambang atau sarana untuk menteror, menakut-nakuti dan menjatuhkan hukuman kepada mereka.
Banyak diantara orang tua yang menampakkan rasa ketakutan dan kekhawatirannya terhadap anak-anak, lalu kebiasaan ini berpindah kepada mereka, hingga anak-anak merasa khawatir terhadap mereka sendiri. Misalnya, apabila seorang anak terkena luka kecil atau jatuh, kemudian suhu panasnya meningkat. Maka seorang ibu merasa takut dan kelihatan jelas tanda-tanda ketakutannya, seperti berlarilari, gugup, muka pucat dan lainnya. Hal ini mengakibatkan anak merasa ketakutan. Pada hal sebelumnya anak anak tidak merasakan sakit sedikit pun, atau rasa sakit yang dialami masih dapat ditahan. Pada kebiasaannya setelah melihat peristiwa itu, ia menjadi anak yang cengeng dan tidak mampu menahan rasa sakit. Pada kebiasaannya kita menjumpai anak yang tumbuh dalam keluarga yang selalu merasa khawatir terhadap anak-anaknya, ia akan tumbuh menjadi orang yang sangat sensitif terhadap rasa sakit walau hanya sedikit. Anak- anak akan tumbuh menjadi orang yang sangat memperhatikan diri sendiri. Manakala ia terkena luka kecil, ia merasakan sakit dan menangis sejadi-jadinya. Dan bila ia terserang penyakit yang ringan saja, seperti pusing kepala, ia langsung beristirahat untuk beberapa waktu. Kebiasaan seperti ini akan mengantar dirinya senantiasa membesar-besarkan rasa sakitnya, padahal sakit yang diderita masih dalam kategori ringan dan masih dapat ditahan. (Sumber: Hamid Abdul Khalik Hamid, Wahai Ibu Selamatkan Anakamu, Pustaka Mantiq)